Aku Juga Manusia

Deskripsi

Menjadi manusia memanglah melelahkan, sangat melelahkan. Sering kali kita dipaksa berdiri dan menanggung beban hidup kita sendiri, namun lebih sering lagi kita dipaksa untuk menopang dan menanggung beban yang sebenarnya bukan menjadi beban hidup kita. Padahal, beban hidup kita sendiri pun belum tentu bisa kita selesaikan. Belum lagi rasa khawatir yang sering muncul menghantui pikiran, membuat kita cemas dan merasa bahwa kita adalah manusia paling lemah. Akhirnya, kita hanya bisa berkata, “yaudah, gak apa-apa.”

Di muka bumi ini, ada begitu banyak manusia. Jutaan, bahkan milyaran. Kita adalah bagian dari golongan tersebut, golongan yang tidak akan pernah punah di bumi hingga akhir zaman. Bumi ini diciptakan untuk kita, untuk manusia. Banyak yang meninggalkan bumi karena kematian, tetapi yang lahir lebih banyak lagi. Manusia adalah kita, makhluk paling sempurna yang menguasai bumi. Kita dianugerahi akal untuk berpikir, hati untuk merasakan, dan raga untuk beribadah. Banyak peradaban di bumi yang terbentuk dari perilaku dan tindakan manusia. Termasuk apa yang kita lakukan hari ini, akan menjadi sejarah yang akan diambil manfaat dan hikmahnya oleh generasi setelah kita. Maka, mari bersyukur atas kehadiran kita di bumi ini dalam bentuk manusia.

Tentang Penulis Hafiid Pratama, anak pertama dari pasangan Peltu Halim dan Fitri Handayani S.Pd. Kota Palu menjadi takdir terindah yang Tuhan gariskan sebagai tempat kelahirannya pada 29 November 2000. Seorang pria dengan cita-cita tinggi dan harapan untuk memberikan manfaat kepada banyak orang.

Hafiid menempuh pendidikan di dua kampus yang berbeda, namun keduanya terhenti di tengah jalan. Keputusan tersebut tidak merubah prinsipnya untuk terus belajar dan menerima semua ketetapan hidup yang Tuhan gariskan. Dia meyakini bahwa segala takdir adalah indah dan dituliskan dengan penuh cinta. Hafiid menyadari bahwa hidup harus terus bersinar dan berlanjut, meskipun banyak hal yang membuatnya redup. Saat ini, Hafiid aktif sebagai Content Creator di media sosial.

Gemar menulis sejak SD, Hafiid mulai dari menulis puisi di buku pelajaran sekolah hingga akhirnya memberanikan diri menyusunnya menjadi karya pertamanya yang saat ini sedang kamu pegang. Bagi Hafiid, menulis adalah tindakan yang membuatnya abadi, karena ketika dirinya tiada, tulisannya akan selalu ada dan bermanfaat bagi mereka yang membacanya.