Deskripsi
Zenna lahir sebagai anak keenam dari sebelas saudara, dan hidup bersama keluarganya di lereng Gunung Singgalang. Sejak kecil, Zenna sudah mengenal arti hidup yang keras. Ia tak segan bekerja keras untuk mencari nafkah, seperti pergi ke sekolah dengan sepatu rombeng, sambil membawa jagung rebus untuk dijual. Sebuah janji manis dari Abaknya, yang akan membelikan sepatu baru jika Zenna mendapatkan uang, ternyata tak kesampaian. Abak meninggalkan Zenna untuk selamanya, meninggalkan janji yang tertinggal.
Sebagai anak tengah-tengah, Zenna seringkali merasa tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Kesedihannya pun terpendam, dan ia memilih untuk bekerja keras secara mandiri. Ia memutuskan untuk memenuhi janji Abaknya sendiri dengan membeli sepatu untuk dirinya sendiri.
Di tempat lain, di lereng Gunung Marapi, Asrul dan adiknya Irsal membantu Umi untuk mencari nafkah. Bapak mereka tinggal bersama istri keduanya, meninggalkan Umi, Asrul, dan Irsal di rumah warisan orang tua Umi. Meski Bapak kadang memberi uang, itu tidaklah mencukupi. Asrul selalu menemukan kayu manis di dompet Bapak setiap kali diberi uang. Ia tak punya dompet sendiri, dan setiap uang yang ia dapatkan akan diberikan pada Umi. Asrul bermimpi untuk membangun rumah untuk Umi suatu hari nanti.
Nasib mempertemukan Zenna dan Asrul di kampus. Keduanya memiliki tekad yang sama untuk meningkatkan derajat hidup mereka dan keluarga. Mereka saling menguatkan, dan hubungan mereka semakin erat, terlebih dengan bantuan dari Koran Harian Semangat. Akhirnya, mereka menikah dan memiliki rumah sendiri, membawa Umi dan Umak mereka tinggal bersama.
Meski hidup mereka mengalami perbaikan, tantangan tetap menghampiri. Namun, semangat dan tekad yang mereka miliki membawa mereka melewati setiap cobaan. Mereka selalu mengingat bahwa mereka pernah melewati masa-masa yang jauh lebih sulit. Dengan saling menguatkan, Zenna dan Asrul berjuang bersama untuk mewujudkan janji mereka menuju kehidupan yang lebih baik.
Ulasan
Belum ada ulasan.