Deskripsi
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), proses peralihan harta kekayaan dari si pewaris kepada ahli warisnya didasarkan pada hubungan perkawinan dan hubungan keluarga sedarah. Dalam konteks ini, KUHPerdata tidak mengakui istilah anak tiri atau anak angkat, namun mengenal istilah saudara tiri, baik itu saudara tiri seayah atau saudara tiri seibu. Hal ini mengindikasikan bahwa harta warisan akan diserahkan kepada saudara-saudara tiri tersebut.
Namun, dalam perjalanan menuju Hukum Kewarisan Nasional, terdapat sejumlah kompleksitas dan variasi dalam penerapan hukum kewarisan di Indonesia. Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata didasarkan pada masyarakat individual – bilateral, yang mana penduduk Indonesia memiliki berbagai sistem kekerabatan, termasuk sistem patrilineal, materilineal, dan parental (bilateral), yang berakar dalam keberagaman budaya dan agama.
Dalam konteks Hukum Islam, terdapat perbedaan pendapat mengenai ajaran kewarisan. Ajaran Syafi’i cenderung menganut prinsip patrilineal, sementara ajaran Hazairin menyatakan kewarisan bilateral. Selain itu, juga terdapat perbedaan pendapat mengenai kedudukan cucu, saudara, kakek, dan nenek sebagai ahli waris.
Meskipun demikian, hukum kewarisan di Indonesia belum mengalami unifikasi yang menyeluruh. Faktor agama dan golongan penduduk turut mempengaruhi penerapan pluralistik hukum waris. Namun, diharapkan ke depan akan terbentuk Undang-undang Kewarisan Nasional yang bersifat unifikasi, sebagaimana Undang-undang Perkawinan Nasional. Dengan catatan bahwa Hukum Kewarisan merupakan salah satu bidang hukum yang kompleks dan sulit dipahami.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi Muhammad saw, Hukum Warisan meliputi setengah dari seluruh ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan pentingnya kajian mengenai hukum kewarisan dalam konteks kehidupan masyarakat.
Ulasan
Belum ada ulasan.