Deskripsi
Tahun 1899, seorang perempuan dengan darah ningrat menolak dipanggil Raden Ajeng, sebuah panggilan yang seharusnya mencerminkan posisinya sebagai putri bupati. Namun, dengan segala alasan yang dimilikinya, perempuan tersebut menolak dan menyatakan dalam sepucuk surat, “Panggil Aku Kartini saja, itulah namaku!” Kartini bukan hanya dikenal sebagai pelopor emansipasi perempuan, tetapi juga sebagai “pengkritik tangguh terhadap feodalisme budaya Jawa dengan segala kerumitan dan tetek bengeknya.” Ia juga merupakan “pelopor dalam sejarah modern Indonesia.”
Biografi ini mengajak kita untuk mengenang Kartini, bukan hanya sebagai seorang gadis pingitan yang dinikahkan secara paksa, melahirkan, dan meninggal. Kita diajak melihat bagaimana Kartini melawan segala ketidakadilan yang dia alami, melawan kesepian akibat pingitan, dan melawan kekuasaan penjajahan yang memenjarakannya di Kabupaten. Meskipun Kartini tidak memiliki massa atau uang, namun ia mempunyai kepekaan dan keprihatinan yang besar. Ia menuangkan semua perasaannya yang tertekan melalui tulisan, dan hasilnya luar biasa. Suara Kartini tidak hanya terdengar di dalam negeri, tetapi juga sampai ke negeri asalnya, mencapai akar segala kehancuran yang dialami oleh manusia Pribumi.
Pramoedya Ananta Toer, dengan tajam dan penuh pesona, merekam perjuangan Kartini. Tulisannya membedakannya dari uraian dan tafsir apapun mengenai sosok Kartini. Melalui penceritaan yang mendalam, kita dapat melihat Kartini sebagai seorang pemberani yang melampaui batasan-batasan yang dihadapinya, menjadi inspirasi bagi perempuan-perempuan di masa berikutnya.
Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup Kartini, seorang tokoh yang tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan, tetapi juga menciptakan suara yang menggema hingga ke pelosok negeri. Suara yang tidak hanya terdengar, tetapi juga meresap dan mewarnai sejarah bangsa.
Ulasan
Belum ada ulasan.