Cerita dimulai ketika arus pendatang membanjiri Semarang, ibukota Jawa Tengah, dari berbagai penjuru. Kedasih, Kintel, Sumirat, dan Wardoyo, masing-masing berasal dari empat desa yang berbeda, bertemu di kota ini. Mereka hidup sebagai rakyat jelata yang mengikuti alur nasib yang telah digariskan, memikul beban kebutuhan yang tak terpenuhi.

Dalam “Twivortiare 2,” pembaca akan disajikan dengan kisah cinta yang penuh warna, mengintip kedekatan Alexandra dan Beno melalui serangkaian kicauan di dunia Twitter. Lebih dari itu, buku ini juga memberikan pelajaran tentang pernikahan, menggambarkan kompleksitas menyatukan dua kepala menjadi satu. Dengan segala keunikannya, “Twivortiare 2” hadir sebagai kisah cinta modern yang memukau dan penuh pengajaran.

Veronika, seorang wanita berusia 24 tahun, nampaknya memiliki hidup yang sempurna. Ia muda, cantik, memiliki kekasih yang mencintai dan menjaganya, keluarga yang penuh kasih, dan bekerja dalam pekerjaan yang dicintainya. Namun, di tengah segala keindahan itu, Veronika merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang sulit untuk ditemukan, meski sudah ia upayakan.

Dalang tidak memihak pada nasib, melainkan pada takdir. Tentu saja, kau masih mengingat saat kita pernah membayangkan dongeng tentang waktu, yang di gambarkan sebagai remah-remah yang bisa kita kunyah, telan, dan muntahkan kapan saja agar tetap ada. Meskipun kita menyukai dongeng itu dan menyebutnya indah, sebenarnya kita tidak sepenuhnya memahami maknanya.